Fayakhun Nilai Rusaknya Mentalitas Bangsa Berawal dari Kurikulum
Fayakhun Andriadi,
Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, dalam ulasan sebelumnya merasa prihatin
dengan kondisi mental bangsa. Menurut Fayakhun,
salah satu penyebabnya adalah kurikulum yang salah. Fayakhun menulis : “Saya
menyadari, penyebabnya tentu tidaklah tunggal. Hanya saja, faktor fundamental
yang sangat tidak bisa kita nafikan adalah berkaitan dengan kurikulum
pendidikan. Kebetulan para keponakan saya mengeyam pendidikan di sekolah
negeri. Setelah saya amati secara lebih dalam, kurikulum pendidikannya sangat
tidak mendukung bagi penciptaan cara berpikir, mentalitas, ataupun keterampilan
hidup yang kondusif bagi dirinya maupun bagi masa depan bangsa ini. Kurikulum
dari SD sampai SMA selalu mengarahkan anak didik pada 'hafal dan hafal'.”
Fayakhun melanjutkan, “hafal berarti dapat mengucapkan
sesuatu di luar kepala. Menyuruh menghafal berarti menyuruh mereka untuk
meresapi sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat. Dan seringkali tuntutannya
adalah siswa harus hafal persis seperti yang tertulis di buku pelajaran. Dan
itu berlaku untuk semua mata pelajaran, tak peduli apakah itu mata pelajaran
eksak (seperti matematika, IPA, Fisika, dsb), sosial (sejarah, IPS, dsb), dan
agama/moral.”
“Karena tuntutan menghafal itu, pada saat ujian anak didik dilarang membuka buku alias nyontek. Apakah membuka buku sama dengan nyontek? Jawabannya 'belum tentu'. Kalau soal ujiannya adalah kasus yang membutuhkan imajinasi (otak kanan), yang membutuhkan pendalaman pengertian (otak kanan), maka membuka buku bukan berarti akan bisa menjawab soal. Akan tetapi karena semua soal adalah pertanyaan dangkal yang tidak membutuhkan analisa, semua soal bisa dijawab dengan sekedar membuka buku, maka nyontek/membuka buku saat ujian dilarang keras,” tegas Fayakhun.
Fayakhun pun samakin prihatin, “sungguh luar biasa kreatifitas anak didik dalam hal manipulasi dan tipu daya di bidang contek-menyontek ini. Itu mereka praktekkan sejak berusia SD hingga masa kuliah, dan di setiap masa ujian yang berlangsung secara konsisten. Dan itu berarti, kultur manipulasi, berbuat curang, hanya patuh saat petugas ada, budaya instan dan sebagainya itu sudah mulai berkembang di dalam diri calon generasi bangsa sejak mereka masih berusia dini.”
“Praktek yang terjadi di lembaga pendidikan inilah bibit unggul bagi berkembangnya penyakit mental kronis di tengah masyarakat. Sesuatu yang sudah rusak sejak dini, maka ke depannya akan rusak sendiri, itu pasti. Kalau menyontek dianggap biasa dan dipraktekkan berulang-ulang, maka ke depannya dia akan menganggap 'nyolong' itu biasa, 'ngutip komisi' itu lumrah, dan korupsi juga tidak dosa. Itu menjadi sebuah akumulasi,” pungkasnya.
“Karena tuntutan menghafal itu, pada saat ujian anak didik dilarang membuka buku alias nyontek. Apakah membuka buku sama dengan nyontek? Jawabannya 'belum tentu'. Kalau soal ujiannya adalah kasus yang membutuhkan imajinasi (otak kanan), yang membutuhkan pendalaman pengertian (otak kanan), maka membuka buku bukan berarti akan bisa menjawab soal. Akan tetapi karena semua soal adalah pertanyaan dangkal yang tidak membutuhkan analisa, semua soal bisa dijawab dengan sekedar membuka buku, maka nyontek/membuka buku saat ujian dilarang keras,” tegas Fayakhun.
Fayakhun pun samakin prihatin, “sungguh luar biasa kreatifitas anak didik dalam hal manipulasi dan tipu daya di bidang contek-menyontek ini. Itu mereka praktekkan sejak berusia SD hingga masa kuliah, dan di setiap masa ujian yang berlangsung secara konsisten. Dan itu berarti, kultur manipulasi, berbuat curang, hanya patuh saat petugas ada, budaya instan dan sebagainya itu sudah mulai berkembang di dalam diri calon generasi bangsa sejak mereka masih berusia dini.”
“Praktek yang terjadi di lembaga pendidikan inilah bibit unggul bagi berkembangnya penyakit mental kronis di tengah masyarakat. Sesuatu yang sudah rusak sejak dini, maka ke depannya akan rusak sendiri, itu pasti. Kalau menyontek dianggap biasa dan dipraktekkan berulang-ulang, maka ke depannya dia akan menganggap 'nyolong' itu biasa, 'ngutip komisi' itu lumrah, dan korupsi juga tidak dosa. Itu menjadi sebuah akumulasi,” pungkasnya.
Komentar
Posting Komentar